FILSAFAT ISLAM

 

Pada bab 1 buku filsafat islam ini membahas kedudukan filsafat Islam dalam perjalanan sejarah terus menerus menjadi perdebatan yang tiada habisnya, setiap celah memungkinkan untuk melihat filsafat Islam dari berbagai sisi. Minimnya bukti-bukti historiografi melahirkan beragam pemikiran, kecenderungan pertama misalnya menafikan keberadaan filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap tak pernah ada dan tak ada dalam proses perkembangan keilmuan di dunia, apalagi kemajuan zaman saat ini sama sekali tidak dapat memiliki kaitan budaya dengan Islam dan ajaranajarannya. Maka, Barat dalam arti “simbol" ke-modern-an dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat dengan "tenang” beranggapan bahwa Barat sebagai pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir dari proses kreativitas pikir bangsa Barat dan pergulatan zaman mereka sendiri sejak masa dahulu kala.

Filsafat Islam dari sisi lahir, hidup berkembang dan kondisi mati surinya adalah konsekuensi yang mesti dilakukan untuk mengetahui posisi filsafat Islam dalam lintasan sejarah secara jernih dan objektif. Artinya membicarakan filsafat Islam sama dengan menjelaskan Islam sejak zaman kelahirannya kemudian komunikasinya dengan masyarakat setempat dan bagaimana prosesnya hingga berkembang melintasi jazirah Arabia menembus Eropa serta bagaimana pula proses “pertubrukan” budaya di dalamnya. Analisis tersebut pasti merubah pola analisis setiap pendapat dari tiga kecenderungan di atas. Bahkan bisa saja turut memperdebatkan satu pendapat dengan pendapat lainnya atau sebaliknya mendukung satu dari lainnya. Islam dan filsafat sendiri diragukan konsepnya sebagai sebuah satu kesatuan makna. Dalam kalangan tertentu ada yang berpendapat bahwa agama dan filsafat tidak dapat dipertemukan karena keduanya memiliki paradigma yang sangat berbeda.

Tradisi ilmiah islam dan akulturasi budaya Timur tengah adalah negara-negara basis Islam, meski tidak sinonim sulit memisahkan pembahasan antara keduanya, karena Islam berkembang di wilayah Timur tengah dan keemasan Islam pada masa lampau terletak di wilayah-wilayah Timur tengah. Tetapi menilai kebenaran ajaran Islam dan kemajuannya pada Timur tengah tentu bukan penilaian yang tepat, karena Islam tidak hanya berkomunikasi dengan bangsa Timur tengah, Islam berkomunikasi dengan bangsa manapun dan melakukan sebuah proses akulturasi budaya yang sangat menarik. Islam membaur dengan budaya Persia Iran, membaur dengan peradaban Mesir kuno, berkomunikasi dengan kekuatan Mesopotamia kuno di dataran rendah Irak atau berkonsultasi dengan Hellenisme yang disebarkan Alexander Agung dan melebur mendekati Eropa bersama pemikiran Yunani. Peleburan budaya dan akulturasi ini takkan pernah terrealisasi tanpa kekuatan Bangsa Arab. Islam takkan pernah berjaya dan mencapai masa keemasan jika Bangsa Arab memilih untuk mengeksklusifkannya. Ekspansi Islam keluar dari Jazirah Arab dan merambah wilayah-wilayah lainnya berhasil mempopulerkan Islam dan ajaran-ajarannya serta berhasil menunjukkan identitas Bangsa Arab. Tetapi masa lalu bangsa Arab sebagai bangsa Jahiliyah cukup menghantui penilaian-penilaian di luar Arab terhadap bangsa Arab itu sendiri. Kondisi Bangsa Arab sebelum Islam datang, dikisahkan merupakan Bangsa Jahiliyah, bangsa yang seakan-akan tidak punya norma dan aturan. Bangsa yang seakan-akan tidak punya intelektualitas dan berada dalam titik nadir.

Perkembangan filsafat Islam seringkali disepadankan dengan aktivitas intelektual umat Islam, upaya penyepadanan ini berbuah pada asumsi kematian aktivitas intelektual umat Islam ketika filsafat Islam – diduga ditutup oleh Ibnu Rusyd dan beralih ke Barat. Asumsi ini semakin meyakinkan ketika isu stagnasi aktivitas intelektual dihembuskan, yakni isu tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadap filsafat dan wafatnya Ibnu Rusyd, seorang figure filosof Islam yang diakui Barat (Eropa). Dampak isu ini berbuah kemalangan panjang umat muslim, selama bertahun-tahun umat disibukkan dengan perdebatan-perdebatan pemaknaan zindiq yang identik dengan tudingan "kafir’’ atau keluar dari ajaran Islam oleh orangorang radikal-ekstrimis yang mengklaim dirinya penjaga kesucian agama.

Selanjutnya tiga konteks yang seringkali diperdebatkan konstelasi hubungannya ini, ilmu, filsafat dan agama mampu menjelaskan lebih gamblang kedudukan filsafat Islam, filsafat dan Agama atau filsafat Agama dalam struktur keilmuan. Dikotomisasi makna pada tiga kata di atas yang kini menginspirasi lahirnya proses integrasi keilmuan antara agama, sains dan filsafat. Hampir seluruh sarjana menyepakati perpaduan antara ilmu -diidentifikasi dengan sains- dan filsafat, tapi tidak dengan agama. Agaknya pengalaman muram hubungan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abad kegelapan kristen atau juga dalam hubungannya dengan “mihnah" dalam diskursus Islam membawa semacam “trauma" tersendiri untuk mendudukkan agama bersama dengan filsafat dan sains. Untuk mempertegas proses pengkajian, ilmu pengetahuan kami setarakan maknanya dengan sains. Alasannya adalah karena perkembangan sains seringkali dijadikan indikasi untuk melihat kemajuan peradaban dari suatu bangsa. Islam dikatakan mencapai keemasannya di zaman Abbasiyah disebabkan oleh berkembangnya sains baik astronomi, kedokteran, arsitektur dan sebagainya. Kini, ketika Barat menjadi figur kemodernan, kebangkitan dan panutan peradaban juga karena kemajuan sains mereka yang berada di atas rata-rata yang berkembang di wilayah lainnya. Maka, tak ada penjelasan definitif mengenai ilmu pengetahuan atau juga sains.

-        KARAKTERISTRIK FILSAFAT ISLAM

Karakteristik adalah ciri khas dari sesuatu, artinya ketika membicarakan karakteristik filsafat Islam maka kita membahas perbedaan antara filsafat Islam dengan filsafat lainnya, baik itu Yunani, Hellenis atau juga Barat. Beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan ini secara tersirat telah diungkapkan dalam keterangan-keterangan diatas. Namun, demi memudahkan pemahaman kita bersama, dilakukan pointer-pointer mengenai hal-hal yang menjadi karakteristik filsafat Islam. 1) Landasan berfikir; filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Qur'an dan hadis. 2) Sistem analisis; filsafat Islam tidak hanya melandaskan diri pada prinsip-prinsip rasional tetapi juga spiritual. 3) Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telaah dan analisis para filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang- orang Islam. 4) Objek yang dikaji; filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan sebagian pembahasan mengenai ruh. 5) Bidang kajian; awalnya para filosof muslim mengkaji filsafat-filsafat yang datang dari Yunani, baik yang murni Yunani atau yang telah terhellenisasi, artinya mirip sekali dengan upaya islamisasi filsafat Yunani, tetapi kemudian berkembang menjadi kajian “hikmah" atau yang diistilahkan Henry Corbin dengan “theosophy".

-        PARA FILOSOF MUSLIM AWAL

Para filosof muslim awal ini dimulai dari al-Kindi dan ditutup oleh Ibnu Sina. Seluruh filosof awal ini adalah filosof peripatik Islam, yang kemudian dikritik dalam beberapa hal oleh al-Ghazali. Ibnu Rusyd atau Khwajah Nashir al-Din Thusi yang disebut-sebut sebagai penganut peripatetic tidak dikategorikan bersama dalam pembahasan. Mengingat secara kronologis mereka bukan termasuk filosof muslim pertama, selain itu isu-isu yang diutarakan keduanya telah memasuki babak baru. Babak inilah yang kami sebut dengan pemikiran pasca kritik al-Ghazali. Babak dimana dominasi rasio dalam epistemology telah berbaur dengan intuisi sebagai alat epistemologis pencarian kebenaran.

1.      AL-KINDI, adalah seorang filosof muslim keturunan Arab, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub ibn lshaq ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Sebutan al-Kindi dinisbahkan pada Kindah, kabilah terkemuka pra-lslam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad ibn Abi Waqash dalam peperangan antara kaum muslimin dengan bangsa Persia di Irak. Sedangkan ayahnya lshaq ibn al-Shabbah adalah seorang gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan al- Rasyid (786-809 M).

2.      AL-RAZI, nama al-Razi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, dia dikenal dengan nama Rhazes. Tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi ini lahir di Rayy, dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Al-Razi adalah seorang dokter, filosof, kimiawan dan pemikir bebas, bahkan menurut riwayat, al-Razi menguasai teknik musik baik teori maupun praktik, dan seorang alkemi sebelum belajar formalnya di bidang kedokteran. Pada masa mudanya, al-Razi pernah menjadi tukang intan, penukar uang dan seorang pemain musik kecapi tetapi ghirah belajarnya yang tinggi membuatnya menjadi seorang ahli dalam berbagai bidang.

3.      AL-FARABI, Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 258 H/ 870 M. Beberapa riwayat mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang Turki tapi ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya seorang Persia yang kemudian menjadi tentara perang Turki. Karena pemikiran-pemikirannya mengenai filsafat Yunani sangat memukau, al-Farabi sangat dikenal di kalangan intelektual Eropa, mereka menyebut al-Farabi dengan al-Farabius atau Avennaser.

4.      IBNU MISKAWAIH, Ahmad ibn Muhammad ibn Ya'qub ibn Miskawaih atau dikenal juga dengan Abu Ali al-Khazin, lahir di kota Rayy, Iran pada 320 H dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421 H. Seorang politikus dan filosof ini dikatakan merupakan seorang Majusi sebelum kemudian menjadi seorang muallaf. Namun Yaqut al-Baghdadi menolak pendapat tersebut, dan menyatakan bahwa yang Majusi adalah neneknya, ayah Ibnu Miskawaih sendiri adalah seorang muslim, ini terlihat dari nama ayahnya; Muhammad.146 Ibnu Miskawaih adalah intelektual muslim dan pejabat kenegaraan yang memperoleh kemajuan pesat di bawah perlindungan dinasti Buwaihiyah (sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-5 Hijriyah/ abad ke-10 sampai dengan ke-11 Masehi).

5.      IBNU SINA, Abu Ali Husain ibn Abdullah ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afshinah, dekat Bukhara (Turkistan). Ayahnya Abdullah, berasal dari Balkh, ditugaskan untuk memimpin Bukhara dan kemudian diangkat menjadi gubernur Samanite. Di kota Bukhara inilah, Ibnu Sina memperoleh pendidikan mudanya, sejak kecil Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasan luar biasa. Dalam sepuluh tahun ia telah hafal al-Qur’an dan mengenal berbagai cabang literatur ilmu. Sejak usianya belum genap tujuh belas tahun, Ibnu Sina telah menguasai fiqh, matematika, ilmu ukur dan semantik. Bahkan menurut riwayat, Ibnu Sina mempelajari buku Ocledus, buku mengenai ilmu ukur dan juga buku-buku mengenai kedokteran. Dan ketika genap delapan belas tahun, Ibnu Sina telah mempelajari semua ilmu tersebut.


REFERENSI:

Achmad, G. (1982). Filsafat Islam. Faza Media.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IDI (1) : 3 Ilmuwan Muslim Yang Berpengaruh Di Dunia

CONTOH PENERAPAN ILMU MATEMATIKA DALAM DUNIA ISLAM

Implementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMAN 94 Jakarta dan Malahayati Islamic School